RESENSI
NOVEL TABAH SAMPAI AKHIR
Judul :
Tabah Sampai Akhir
Pengarang : Irfan Ramdhani
Penerbit : GagasMedia
Tebal buku :172 halaman
Tahun penerbit : 2015
BAB
I
Hidup
Berawal Dari Mimpi, itulah yang sering aku pegang teguh dalam kehidupan.
Berawal dari mimpi, setiap manusia bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan.
Gantungkan mimpi itu setiniggi langit, lalu rapatkan mimpi itu di setiap
hembusan nafas mu agar udara yang kau hirup bisa mewujudkan harapan dalam
benakmu. Kejar mimpi itu sampai ia lelah. Ketika mimpi itu lelah, tangkap lah
mimpi itu.
Sejak Sekolah menengah pertama, aku
ingin total dalam organisasi yang aku geluti, yaitu pecinta alam. Karena dengan
alam semata-mata aku bisa lebih memaknai arti hidup. Dengan mendaki salah
satunya. Ketika mendaki, banyak sifat seorang manusia yang sangat kerdil di
mata tuhan yang maha esa. Dengan mengikuti kegiatan alam, aku berharap bisa
lebih dekat serta bersyukur atas apa yang telah di berikan oleh sang maha
pencipta. Aku ingin menjadi seorang yang mencintai alam sepenuh hati, bahkan
masuk kesela-sela aliran darah yang mengalir di dalam tubuh. Melestarikan serta
mengoptimalkan alam Indonesia adalah panggilan jiwaku.
BRAAK!!!
Sabtu,
13 maret 2010 pukul 15:37 WIB menjadi tanggal yang bersejarah bagiku. Pembuktian
bahwa mewujudkan mimpi tidak semudah yang kubayangkan. Saat itu, aku
terjatuh dari gundukan beton setinggi 10
meter. Aku terlempar keras ke daratan. Aku tidak menyangka, tali yang seharus
nya melindungiku tiba-tiba saja terlepas tanpa sebab. Seketika itu juga
pandanganku kabur. Yang ada hanya gelap beriring istighfar tak henti-henti.
Seakan tak percaya, kedua kaki ini sudah tidak bisa di gerakan
BAB
II
Akan Ada Selalu Pelangi Yang Muncul
Selepas Badai Terparah Sekalipun. Oleh karena itu, aku yakin, pasti ada jalan
terbaik ketika aku menghadapi musibah ini.
Sebelum terjatuh aku masi sempat
berbincang dengan Dewi di sekitar papan panjat kampus. Dewi merupakan wanita
yang cukup akrab denganku. Saat ini, Dewi sudah tampak cantik berdiri persis di
hadapanku. Ternyata kawanku , Panji, member kabar kepada Dewi atas kecelakaan
yang menimpaku.
“Ya Allah,baru aja tadi ketemu.
Ngobrol bareng dekat papan panjat. Sekarang, lo udah nggak berdabaru aja tadi
ketemu. Ngobrol bareng dekat papan panjat. Sekarang, lo udah nggak berdaya di
ranjang gini. Sabar,ya,Fan”. Kulihat wajah Dewi yang tampak sedih.
“Iya,makasih ya. Yang namanya
musibah nggak ada yang tahu. Mungkin ini takdir dari Yang Mahasa Kuasa”.
“Sabar,ya, Fan, gue yakin lo kuat
menghadapi cobaan dari Allah. Dan gue yakin, lo bisa lewatin masa-masa sulit
ini,”ucap Dewi seraya menghiburku.
Hari semakin petang, sang surya
tampak hilang perlahan diirini kehadiran kawan-kawan yang semakin tamai meuhi
isi kamar inapku.. Namun entah setan apa yang meradang menggiring focus
padanganku yang hanya tertuju kepada Dewi.
BAB
III
Hari
demi hari aku lewati dengan beristirahar di rumah dan dirumah sakit. Dengan
penuh ratapan yang menyayat hati. Bagaimana tidak, untuk bergerak pun sulit.
Sedikit saja badanku digerakkan, rasanya seperti dihujam ribuan benda tajam.
Sakit sekali.
Namun,ada
satu hal yang meresahkan hatiku kala itu. Semenjak aku mendapatkan vonis
doketer, aku mulai itu. Semenjak aku mendapatkan vonis dokter, aku mulai
merasakan perubahan pada sikap Dewi terhadapku. Ikap Dewi sangatllah berbanding
terbalik dari sebelumm ia mengetahui vonis dokter yang ditujukan kepadaku. Ia
mulai cuek dan sikapnya sedingin es. Dewi mulai jarang menjengukku, bahkan
sekadar mengirim pesan singkat pun tifak. Pernah aku mengirim pesan kepadanya, tapi ia pun seperti tak
acuh. Kadang membalas,kadang tidak.
Entah
mengapa sikap Dewi sangat berubah terhadapku. Aku pun beberapa kali bertanya
kepada dirinya. Apa yang membuat ia berbeda. Namun, ia sering sekali tidak
berikan jawaban kepadaku. Sempat aku berpikir, apa mungkin perubahan sikap itu
terjadi karena Dewi telah mendengae vonis dari dokter? Entahlah, yang jelas ia
sudah tidak seperti dulu lagi.
BAB IV
Setelah beberapa bulan aku dirawat
dirumah, aku pun kembali dibawa oleh temn-temanku ke Cimande. Di Cimande itu
tidak satu-dua saja pengobatan alternatifnya, tapi menurut salah satu temanku
di Mapala, ada satu tempat yang paling direkomendasikan di salah satu desa di
Cimande.
Setelah berembuk dengan
keluarga,akhirnya aku diantar oleh
teman-teman SMA untuk kembali ke Cimande dan berobat kembali. Kali ini,aku pun
ditemani oleh adikku, Andrian, untuk menemaniku beberapa hari di sana. Andrian
memiliki rambut ikal serta warna kulit sawo matang Kala itu, ia masih duduk di
Sekolah Menengah Pertama. Walaupun ia masih sangat remaja, ia sosok adik yang
sangat perhatian dan penuh kasih sayang terhadap kakaknya,
Walaupun aku hanya bisa terbaring
lemas tak berdaya di atas tempat tidur, dalam satu ruangan yang sangat sesaj
hingga mengimpit dada, tapi kami masih dapat saling berbagi tawa dalam
hangatnya sebuah persaudaraan. Aku senang Andrian sudah meluangkan waktunya
agar aku tidak merasa kesepian. Karena ibuku yang harus mencari nafkah di Ibu Kota.
Aku bersyukur karena masih ada adikku yang sudah merelakan waktunya untuk izin
sekolah agar bisa bersamaku, untuk sekedar menemaniku yang saat itu memang
merasa sangat sepi.
BAB
V
“Prakkkkk! “ tongkatku patah ketika
berada di dalam kereta menuju Stasiun Malang. “ Apakah ini sebuah pertanda?”
tanyaku dalam hati. Rasa cemas spontan memenuhi pikiranku. Bagaimana bisa aku
berjalan tanpa tongat?Namun,aku tidak boleh panik. Segera kuhubungi Dargombes,
salah satu anggota Mapala yang berdomisili di Malang Sebelumnya, seorang teman
sudah merekomendasikan menguhubungi Dargombes apabila ingin mendaki ke Gunung
Semeru. Aku pun menguhubunginya melalui telepon.
“Bes,tongkatku patah. Dekat stasiun
ada yang jual tongkat nggak?” tanyaku.
“Ada,kok,Fan. Emang kamu kenapa,
kok, pakai tongkat?” Dengan logat Jawanya, Dargombes bertanya.
“Aku nggak bisa jalan,Bes. Dulu
jatuh. Nanti saja cerita-nya, pas kita ketemu di Stasiun Malang.”
“Oh, yowes, Fan. Ada, kok nanti
dekat stasiun. Kamu hati-hati dijalan ya,” ujar Dargombers.
BAB
VI
Keadaan fisikku kali ini sudah
perlahanan membaik semenjak pulang dari pendakian Gunung Semeru. Walaupun masih
menggunakan tongkat , aku sudah mulai bisa berpergian untuk melakukan kegiatan
alam. Sebenarnya, aku masih tak menyangka kalai aku berhasil mendaki Gunung
Semeru. Bahkan, dulu aku pernah berpikiran kalau mendaki menggunakan tongkat
hanya khayalan semata. Dan aku masih tak habis piker, awalnya hanya bisa
berdiam diri saja di atas tempat tidur, tetapi ternyata aku berhasil mendai
Gunung Semeru dan mencapkan kaki ini di Danau Ranu Kumbolo, surganya GUnung
Semeru.
Bahkan, orang-orang yang sempat
memandang remeh kepadaku kini telah mengakui kalai mereka salah menilai Mereka
benar-benar takjub ketika tahu bahwa aku berhasil mendaki Gunung Semeru walau
menggunakan tongkat. Mereka juga salut ketika tahu aku bisa mengalahkan
rasa takut dan keluar dari zona nyaman
untuk menjejakan kaki ini di Gunung Semeru, Bahkan mereka yang sempat memandang
sebelah mata, kini berubah setelah aku berhasil menyelesaikan pendakian gunung
ke Semeru. Bahkan ada di antara mereka yang memberikan selamat kepadaku.
BAB
VII
Mimpi adalah kunci bagiku untuk
mengapresiasikan diri. Itu yang membuatku selalu mempunyai patokan hidup agar
lebih indah. Susunan mimpiku kali ini adalah bisa menjadi pembicara dalam ajang
tahunan pameran Deep and Ekstreme Indonesia.
Bagi pecinta pertualangan, sudah
taka sing lagi mendengar pemeran Deep and Ekspreme Indonesia. Pameran berskala
internasional ini menggabungkan kegiatan underwater dengan above water yang
menjanjikan pengunjungnya dengan berbagai paket wisata diving,bahari, dan
beberapa olahraga outdoor lainnya, serta menjelajahi beragam kekayaan wisata
bahari di ekowisata Indonesia.
Pameran Deep and Ekstreme Indonesia
telah menjadi event resmi yang terdaftar dalam agenda pemeran sejenis di
kawasan Asia Tenggara. Selain beragam paket wisata, di pemeran ini juga
terdapat beberapa stand yang menjual rangkat khusus traveling dengan harganya
lebih miring dari biasanya.
BAB
VIII
Sebelumnya, aku sudah menyusun
daftar mimpi yang belum pernah kulakukan, terutama dengan kondisi fisik yang
sudah berbeda ini. Semangaku dalam berkegiatan di alam bebas tidak akan pernah
memudar karena semangatku sudah mengalir dalam nadi dan takkan pernah mencuat
keluar.
Walaupun harus menyesuaikan keadaan
sana- sin dengan kondisiku, aku tetap membuat daftar mimpi yang akan aku
wujudkan. Dan beruntungnya ,salah satu daftar mimpiku kali ini terlaksana.
Berkat rekomendasi dari The Riyanni,
kali ii aku mendapatkan perjalanan ke Bali dari Divemag untuk teraphy selama di
Sanur bersama BIDP. Bahkan The Riyanni langsung merekomendasikanku kepada
founder BIDP yaitu, Avandy Djunaidi atau biasa dipanggil Bang Avandy.
Sosok Bang Avandy bertubuh kekar,
serta berambut gondrong sebahu. Ia memiliki raut wajah hitam manis. Ketika
berbicara pun sangatlah santun walaupun ketika beliau berbicara dengan orang
yang lebih mudah darinya.
BAB
IX
Trauma biasanya terjadi pada diri
seseorang saat dia pernah mengalami suatu masa lalu atau pengalaman buruk,
sehingga sulit terlupakan dan terus teringat saat seseorang inin melakukan
sesuatu yang ada hubungannya dengan trauma tersebut, Menghilangkan trauma bukan
lah suatu perkara yang mudah karena membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Itu
juga terganung seberapa parah tingkat trauma yang diderita oleh si penderita
trauma tersebut.
Saat ini yang aku alami adalah trauma terhadap
ketinggian karena aku pernah terjatuh saat wall climbing. Aku melihat jelas ke
dasar daratan terjatuh saat wall climbing. Aku melihat jelas kedasar daratan
yang jauh berada di bawahku dari ketinggian. Dan di saat itu pula, aku tidak
pingsan dan tetap merasakan rasa sakit yang luar biasa.
Aku terjembap langsung kedaratan.
Dengan waktu seperkian detik saja, tubuhku yang sebelumnya bergantung dengan
tali wall climbing sudah menyentuh tanah. Kejadiannya begitu cepat. Layakny
asedang memacu mobil dengan kecepatan 120 km per jam . Tiba-tiba saja, bagian
pinggang hingga kakiku mati rasa. Bahkan tak bisa bergerak. Hanya kepala dan
tangan yang masih bisa kugerakkan.