Senin, 21 Maret 2016

Resensi Novel

RESENSI NOVEL TABAH SAMPAI AKHIR

Judul                           : Tabah Sampai Akhir
Pengarang                  : Irfan Ramdhani
Penerbit                       : GagasMedia
Tebal buku                  :172 halaman
Tahun penerbit            : 2015

BAB I
Hidup Berawal Dari Mimpi, itulah yang sering aku pegang teguh dalam kehidupan. Berawal dari mimpi, setiap manusia bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan. Gantungkan mimpi itu setiniggi langit, lalu rapatkan mimpi itu di setiap hembusan nafas mu agar udara yang kau hirup bisa mewujudkan harapan dalam benakmu. Kejar mimpi itu sampai ia lelah. Ketika mimpi itu lelah, tangkap lah mimpi itu.
            Sejak Sekolah menengah pertama, aku ingin total dalam organisasi yang aku geluti, yaitu pecinta alam. Karena dengan alam semata-mata aku bisa lebih memaknai arti hidup. Dengan mendaki salah satunya. Ketika mendaki, banyak sifat seorang manusia yang sangat kerdil di mata tuhan yang maha esa. Dengan mengikuti kegiatan alam, aku berharap bisa lebih dekat serta bersyukur atas apa yang telah di berikan oleh sang maha pencipta. Aku ingin menjadi seorang yang mencintai alam sepenuh hati, bahkan masuk kesela-sela aliran darah yang mengalir di dalam tubuh. Melestarikan serta mengoptimalkan alam Indonesia adalah panggilan jiwaku.
BRAAK!!!
Sabtu, 13 maret 2010 pukul 15:37 WIB menjadi tanggal yang bersejarah bagiku. Pembuktian bahwa mewujudkan mimpi tidak semudah yang kubayangkan. Saat itu, aku terjatuh  dari gundukan beton setinggi 10 meter. Aku terlempar keras ke daratan. Aku tidak menyangka, tali yang seharus nya melindungiku tiba-tiba saja terlepas tanpa sebab. Seketika itu juga pandanganku kabur. Yang ada hanya gelap beriring istighfar tak henti-henti. Seakan tak percaya, kedua kaki ini sudah tidak bisa di gerakan

BAB II
            Akan Ada Selalu Pelangi Yang Muncul Selepas Badai Terparah Sekalipun. Oleh karena itu, aku yakin, pasti ada jalan terbaik ketika aku menghadapi musibah ini.
            Sebelum terjatuh aku masi sempat berbincang dengan Dewi di sekitar papan panjat kampus. Dewi merupakan wanita yang cukup akrab denganku. Saat ini, Dewi sudah tampak cantik berdiri persis di hadapanku. Ternyata kawanku , Panji, member kabar kepada Dewi atas kecelakaan yang menimpaku.
            “Ya Allah,baru aja tadi ketemu. Ngobrol bareng dekat papan panjat. Sekarang, lo udah nggak berdabaru aja tadi ketemu. Ngobrol bareng dekat papan panjat. Sekarang, lo udah nggak berdaya di ranjang gini. Sabar,ya,Fan”. Kulihat wajah Dewi yang tampak sedih.
            “Iya,makasih ya. Yang namanya musibah nggak ada yang tahu. Mungkin ini takdir dari Yang Mahasa Kuasa”.
            “Sabar,ya, Fan, gue yakin lo kuat menghadapi cobaan dari Allah. Dan gue yakin, lo bisa lewatin masa-masa sulit ini,”ucap Dewi seraya menghiburku.
            Hari semakin petang, sang surya tampak hilang perlahan diirini kehadiran kawan-kawan yang semakin tamai meuhi isi kamar inapku.. Namun entah setan apa yang meradang menggiring focus padanganku yang hanya tertuju kepada Dewi.
BAB III
Hari demi hari aku lewati dengan beristirahar di rumah dan dirumah sakit. Dengan penuh ratapan yang menyayat hati. Bagaimana tidak, untuk bergerak pun sulit. Sedikit saja badanku digerakkan, rasanya seperti dihujam ribuan benda tajam. Sakit sekali.
Namun,ada satu hal yang meresahkan hatiku kala itu. Semenjak aku mendapatkan vonis doketer, aku mulai itu. Semenjak aku mendapatkan vonis dokter, aku mulai merasakan perubahan pada sikap Dewi terhadapku. Ikap Dewi sangatllah berbanding terbalik dari sebelumm ia mengetahui vonis dokter yang ditujukan kepadaku. Ia mulai cuek dan sikapnya sedingin es. Dewi mulai jarang menjengukku, bahkan sekadar mengirim pesan singkat pun tifak. Pernah aku mengirim  pesan kepadanya, tapi ia pun seperti tak acuh. Kadang membalas,kadang tidak.
Entah mengapa sikap Dewi sangat berubah terhadapku. Aku pun beberapa kali bertanya kepada dirinya. Apa yang membuat ia berbeda. Namun, ia sering sekali tidak berikan jawaban kepadaku. Sempat aku berpikir, apa mungkin perubahan sikap itu terjadi karena Dewi telah mendengae vonis dari dokter? Entahlah, yang jelas ia sudah tidak seperti dulu lagi.
BAB  IV
            Setelah beberapa bulan aku dirawat dirumah, aku pun kembali dibawa oleh temn-temanku ke Cimande. Di Cimande itu tidak satu-dua saja pengobatan alternatifnya, tapi menurut salah satu temanku di Mapala, ada satu tempat yang paling direkomendasikan di salah satu desa di Cimande.
            Setelah berembuk dengan keluarga,akhirnya  aku diantar oleh teman-teman SMA untuk kembali ke Cimande dan berobat kembali. Kali ini,aku pun ditemani oleh adikku, Andrian, untuk menemaniku beberapa hari di sana. Andrian memiliki rambut ikal serta warna kulit sawo matang Kala itu, ia masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Walaupun ia masih sangat remaja, ia sosok adik yang sangat perhatian dan penuh kasih sayang terhadap kakaknya,
            Walaupun aku hanya bisa terbaring lemas tak berdaya di atas tempat tidur, dalam satu ruangan yang sangat sesaj hingga mengimpit dada, tapi kami masih dapat saling berbagi tawa dalam hangatnya sebuah persaudaraan. Aku senang Andrian sudah meluangkan waktunya agar aku tidak merasa kesepian. Karena ibuku yang harus mencari nafkah di Ibu Kota. Aku bersyukur karena masih ada adikku yang sudah merelakan waktunya untuk izin sekolah agar bisa bersamaku, untuk sekedar menemaniku yang saat itu memang merasa sangat sepi.
BAB V
            “Prakkkkk! “ tongkatku patah ketika berada di dalam kereta menuju Stasiun Malang. “ Apakah ini sebuah pertanda?” tanyaku dalam hati. Rasa cemas spontan memenuhi pikiranku. Bagaimana bisa aku berjalan tanpa tongat?Namun,aku tidak boleh panik. Segera kuhubungi Dargombes, salah satu anggota Mapala yang berdomisili di Malang Sebelumnya, seorang teman sudah merekomendasikan menguhubungi Dargombes apabila ingin mendaki ke Gunung Semeru. Aku pun menguhubunginya melalui telepon.
            “Bes,tongkatku patah. Dekat stasiun ada yang jual tongkat nggak?” tanyaku.
            “Ada,kok,Fan. Emang kamu kenapa, kok, pakai tongkat?” Dengan logat Jawanya, Dargombes bertanya.
            “Aku nggak bisa jalan,Bes. Dulu jatuh. Nanti saja cerita-nya, pas kita ketemu di Stasiun Malang.”
            “Oh, yowes, Fan. Ada, kok nanti dekat stasiun. Kamu hati-hati dijalan ya,” ujar Dargombers.
BAB VI
            Keadaan fisikku kali ini sudah perlahanan membaik semenjak pulang dari pendakian Gunung Semeru. Walaupun masih menggunakan tongkat , aku sudah mulai bisa berpergian untuk melakukan kegiatan alam. Sebenarnya, aku masih tak menyangka kalai aku berhasil mendaki Gunung Semeru. Bahkan, dulu aku pernah berpikiran kalau mendaki menggunakan tongkat hanya khayalan semata. Dan aku masih tak habis piker, awalnya hanya bisa berdiam diri saja di atas tempat tidur, tetapi ternyata aku berhasil mendai Gunung Semeru dan mencapkan kaki ini di Danau Ranu Kumbolo, surganya GUnung Semeru.
            Bahkan, orang-orang yang sempat memandang remeh kepadaku kini telah mengakui kalai mereka salah menilai Mereka benar-benar takjub ketika tahu bahwa aku berhasil mendaki Gunung Semeru walau menggunakan tongkat. Mereka juga salut ketika tahu aku bisa mengalahkan rasa  takut dan keluar dari zona nyaman untuk menjejakan kaki ini di Gunung Semeru, Bahkan mereka yang sempat memandang sebelah mata, kini berubah setelah aku berhasil menyelesaikan pendakian gunung ke Semeru. Bahkan ada di antara mereka yang memberikan selamat kepadaku.
BAB VII
            Mimpi adalah kunci bagiku untuk mengapresiasikan diri. Itu yang membuatku selalu mempunyai patokan hidup agar lebih indah. Susunan mimpiku kali ini adalah bisa menjadi pembicara dalam ajang tahunan pameran Deep and Ekstreme Indonesia.
            Bagi pecinta pertualangan, sudah taka sing lagi mendengar pemeran Deep and Ekspreme Indonesia. Pameran berskala internasional ini menggabungkan kegiatan underwater dengan above water yang menjanjikan pengunjungnya dengan berbagai paket wisata diving,bahari, dan beberapa olahraga outdoor lainnya, serta menjelajahi beragam kekayaan wisata bahari di ekowisata Indonesia.
            Pameran Deep and Ekstreme Indonesia telah menjadi event resmi yang terdaftar dalam agenda pemeran sejenis di kawasan Asia Tenggara. Selain beragam paket wisata, di pemeran ini juga terdapat beberapa stand yang menjual rangkat khusus traveling dengan harganya lebih miring dari biasanya.
BAB VIII
            Sebelumnya, aku sudah menyusun daftar mimpi yang belum pernah kulakukan, terutama dengan kondisi fisik yang sudah berbeda ini. Semangaku dalam berkegiatan di alam bebas tidak akan pernah memudar karena semangatku sudah mengalir dalam nadi dan takkan pernah mencuat keluar.
            Walaupun harus menyesuaikan keadaan sana- sin dengan kondisiku, aku tetap membuat daftar mimpi yang akan aku wujudkan. Dan beruntungnya ,salah satu daftar mimpiku kali ini terlaksana.
            Berkat rekomendasi dari The Riyanni, kali ii aku mendapatkan perjalanan ke Bali dari Divemag untuk teraphy selama di Sanur bersama BIDP. Bahkan The Riyanni langsung merekomendasikanku kepada founder BIDP yaitu, Avandy Djunaidi atau biasa dipanggil Bang Avandy.
            Sosok Bang Avandy bertubuh kekar, serta berambut gondrong sebahu. Ia memiliki raut wajah hitam manis. Ketika berbicara pun sangatlah santun walaupun ketika beliau berbicara dengan orang yang lebih mudah darinya.
BAB IX
            Trauma biasanya terjadi pada diri seseorang saat dia pernah mengalami suatu masa lalu atau pengalaman buruk, sehingga sulit terlupakan dan terus teringat saat seseorang inin melakukan sesuatu yang ada hubungannya dengan trauma tersebut, Menghilangkan trauma bukan lah suatu perkara yang mudah karena membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Itu juga terganung seberapa parah tingkat trauma yang diderita oleh si penderita trauma tersebut.
            Saat ini  yang aku alami adalah trauma terhadap ketinggian karena aku pernah terjatuh saat wall climbing. Aku melihat jelas ke dasar daratan terjatuh saat wall climbing. Aku melihat jelas kedasar daratan yang jauh berada di bawahku dari ketinggian. Dan di saat itu pula, aku tidak pingsan dan tetap merasakan rasa sakit yang luar biasa.

            Aku terjembap langsung kedaratan. Dengan waktu seperkian detik saja, tubuhku yang sebelumnya bergantung dengan tali wall climbing sudah menyentuh tanah. Kejadiannya begitu cepat. Layakny asedang memacu mobil dengan kecepatan 120 km per jam . Tiba-tiba saja, bagian pinggang hingga kakiku mati rasa. Bahkan tak bisa bergerak. Hanya kepala dan tangan yang masih bisa kugerakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar