PERAN AGAMA DALAM PERKEMBANGAN BUDAYA LOKAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam di Indonesia disebut sebagai suatu entitas karena memiliki karakter
yang khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan
perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang dipijaknya.
Selain itu, Islam yang datang ke sini juga memiliki strategi dan kesiapan
tersendiri antara lain: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi,
tradisi berseberangan apapun tidak dilawan tetapi mencoba diapresiai kemudian
dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama
atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka.
Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam
diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi
agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam
kehidupan mereka.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara Islam masuk ke Indonesia ?
2. Bagaimana hubungan agama Islam dengan
budaya lokal ?
3. Apa peran agama menghadapi perubahan nilai
?
4. Apa fungsi agama terhadap perkembangan dan
perubahan budaya ?
BAB II
PERAN AGAMA TERHADAP
PERKEMBANGAN BUDAYA LOKAL
A. CARA ISLAM MASUK KE INDONESIA
Pada awalnya Islam masuk ke Indonesia dengan
penuh kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun.
Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada masyarakat di negri ini. Para wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui
pendekatan budaya, bukan dengan Al Quran di tangan kiri dan pedang di tangan
kanan. Melalui alunan gamelan di depan masjid Demak, Sunan Kalijaga mengajar
masyarakat kalimah syahadat. Seusai membaca syahadat, para mualaf dipersilahkan
memasuki halaman masjid dan menikmati indahnya alunan gamelan. Di Madura,
Pangeran Katandur memberi benih jagung dan mengajar masyarakat bertani sambil
dilatih membaca kalimah syahadat. Dan ketika panen jagung tiba, masyarakat
dibiarkannya merayakan panen dengan lomba lari sapi yang sekarang dikenal
dengan karapan sapi.
Para wali di Jawa demikian juga berusaha
memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu mempelajari
Kekawian (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan, dan dari
situ lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian ritual dan
seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana dakwah dan
pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang tiada tara,
sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang hingga bangsawan
diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam, karena
Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.
B. HUBUNGAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan
produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk
tetap eksis. Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah
naratif yang lebih besar bisa secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam
“dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk sementara akan terjadi proses
sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the long run, seiring
dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu
akan hilang dengan sendirinya.
Para ulama salaf di Indonesia rata-rata
bersikap akomodatif. Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi. Tidak
semua tradisi setempat berlawanan dengan aqidah dan kontra produktif. Banyak
tradisi yang produktif dan dapat digunakan untuk menegakkan syiar Islam. Lihat
saja tradisi berlebaran di Indonesia. Siapa yang menyangkal tradisi itu tidak
menegakkan syiar Islam? Disamping Ramadan, tradisi berlebaran adalah saat yang
ditunggu-tunggu. Lebaran menjadi momentum yang mulia dan mengharukan untuk
sebuah kegiatan yang bernama silaturrahim. Apalagi dalam era globalisasi dimana
orang makin mementingkan diri sendiri. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya,
tradisi telah menyatu dengan nilai Islam. Lihat kearifan lokal mereka: Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah “adat
bersendikan hukum Islam, hukun Islam bersendikan Al Quran.” Dalam tradisi lisan
Madura juga dikenal abantal
omba’, asapo’ iman yang
bermakna bekerja keras dan senantiasa bertakwa.
Islam tidak pernah membeda-bedakan budaya
rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan budaya akar rumput yang dibedakan
adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus menerus memahami Al Quran
dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat Islam merintis cross cultural understanding(pemahaman
lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain.
Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga
melintas aneka ragam budaya lokal. Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul
dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini tidak menjadi masalah asalkan
substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu
yang yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk masjid kita tidak harus seperti
masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti
atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab. Festival-festival tradisional yang
kita miliki dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga
terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan
Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak
tempat.
Dalam benak sebagian besar orang, agama
adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya
memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk
senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama
maupun budaya difahami (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni
untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan
berperikemanusiaan.
C. AGAMA MENGHADAPI PERUBAHAN NILAI
Era informasi dan globalisasi sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah berdampak hampir ke
semua aspek kehidupan masyarakat. Perubahan masyarakat akibat berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa dampak yang besar pada budaya,
nilai, dan agama. Nilai-nilai yang sementara ini dipegang kuat oleh masyarakat
mulai bergeser dan ditinggalkan. Sementara nilai-nilai yang menggantikannya
tidak selalu sejalan dengan landasan kepercayaan atau keyakinan masyarakat,
sehingga penyimpangan nilai kian subur dan berkembang.
Dalam situasi seperti ini, remaja dan mahasiswa yang sedang berada dalam
kondisi psikologis yang labil menjadi korban pertama sebagaimana terjadi dalam
berbagai kasus hedonisme, konsumerisme, hingga peningkatan kenakalan remaja dan
narkotika. Hal ini semakin membuktikan bahwa nilai-nilai hidup tengah bergeser
sehingga membingungkan para remaja, menjauhkan mereka dari sikap manusia yang
berkepribadian.
Laporan hasil polling Indonesia Foundation (Pikiran
Rakyat,29/7 2005) menyebutkan, sedikitnya 38.288 orang remaja di Kabupaten
Bandung diduga pernah melakukan seks pranikah. Jika jumlah remaja di Kabupaten
Bandung mencapai 765.762 orang, mereka yang telah melakukan pelanggaran seksual
sebesar 50,56%. Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. Siswanto Agus Wilopo,
S.U., M.Sc., Sc.D. sebagaimana dilaporkan Pikiran Rakyat (Bandung, 6 April
2006) mengatakan, aborri di Indonesia terjadi 2-2,6 juta kasus per tahun dan
dilakukan oleh penduduk usia 15-24 tahun. Selanjutnya ia menyarankan bahwa
upaya preventif yang paling mendasar untuk mencegah aborsi oleh remaja dapat
dilakukan melalui pengajaran norma-norma, budi pekerti, agama, dan moralitas
yang bertanggung jawab dalam perilaku seksual.
Laporan tersebut menunjukkan, bahwa remaja kita,
khususnya para pelajar dan mahasiswa sedang mengalami proses kegalauan nilai
yang parah di mana pendidikan sebagai pembinaan nilai dan moral dituntut untuk
dapat menanggulangi dan mengantisipasinya sehingga masa depan bangsa dapat
diselamatkan. Berbagai fenomena pelanggaran moral di kalangan pelajar dan
mahasiswa membuat khawatir sebagian besar masyarakat yang peduli terhadap
pendidikan. Pendidikan moral yang selama ini menjadi garapan pendidikan dalam
keluarga mulai dirasakan hampa makna, mengingat orang tua tenggelam dalam
kesibukannya masing-masing. Sementara sekolah dan perguruan tinggi, padat
dengan pencapaian tujuan kurikulum yang menonjolkan aspek kognitif. Output
pendidikan lebih banyak menghasilkan pengetahuan, tetapi tidak mampu menghadapi
tantangan hidup dan kehidupan (survive). Standar moral dan spiritual anak
nyaris tanpa sentuhan, sehingga nilai dan norma yang tertanam pada diri anak
hanya sesuatu yang absurd.
Rendahnya pendidikan masyarakat, sistem pendidikan yang
tidak mapan, struktur ekonomi yang keropos, serta jati diri bangsa yang belum
terinternalisasikan, menjadikan bangsa rentan terhadap nilai-nilai baru yang
datang dari luar. Nilai-nilai Barat yang sebagian berseberangan dengan
nilai-nilai ketimuran dengan mudah diadopsi, terutama oleh generasi muda. Nilai
yang mudah ditiru pada umulnya adalah nilai-nilai yang berisi kesenangan,
permainan, dan hedonisme yang sering kali membawa dampak buruk. Sebaliknya,
nilai-nilai positif dari Barat seperti kecerdasan dan kemajuan iptek tidak
dicerap dengan baik. Menghadapi persoalan tersebut, di kalangan ahli pendidikan
sepakat untuk membina dan mengembangkan pendidikan nilai, moral, dan norma.
Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia
dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman,
1983). Nilai dilihat dalam posisinya adalah subjektif, yakni setiap orang
sesuai dengan kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan
nilai dan tindakan yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat
merujuk kepada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu
menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur dalam
menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Jadi nilai adalah harga yang
dituju dari sesuatu perilaku yang sesuai dengan norma yang disepakati.
Sedangkan moral adalah kebiasaan atau cara hidup yang terikat pada
pertanggungjawaban seseorang terhadap orang lain sehingga kebebasan dan
tanggung jawab menjadi syarat mutlak.
Nilai, moral, dan norma merujuk kepada kesepakatan dari
suatu masyarakat. Karena itu, nilai, moral, dan norma akan berkembang sejalan
dengan perkembangan masyarakat (relatif). Agama dipandang sebagai sumber nilai
karena agama berbicara baik dan buruk, benar, dan salah. Demikian pula, agama
Islam memuat ajaran normatif yang berbicara tentang kebaikan yang seyogianya
dilakukan manusia dan keburukan yang harus dihindarkannya. Islam memandang
manusia sebagai subjek yang paling penting di muka bumi sebagaimana diungkapkan
Alquran (Q.S. 45:13) bahwa Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi
untuk manusia. Sedangkan ketinggian kedudukan manusia terletak pada
ketakwaannya, yakni aktivitas yang konsisten kepada nilai-nilai Ilahiah yang
diimplementasikan dalam kehidupan sosial.
Dilihat dari asal datangnya nilai, dalam perspektif Islam
terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan manusia. Nilai yang datang dari
Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci.
Nilai yang merupakan firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi implementasinya dalam
bentuk perilaku merupakan penafsiran terhadap firman tersebut bersifat relatif.
Menelusuri makna nilai dalam perspektif Islam dapat
dikemukakan konsep-konsep tentang kebaikan yang ditemukan dalam Alquran.
Beberapa istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kebaikan, yaitu alhaq dan
al-ma'ruf serta lawan kebaikan yang diungkapkan dalam istilah albathil, dan
almunkar. Haq atau alhaq menurut pengertian bahasa adalah truth; reality;
rightness, correctness; certainty, certitude dan real, true; authentic,
genuine; right, correct, just, fair; sound, valid.
Alhaq diulang dalam Alquran sebanyak 109 kali. Alhaq
mengandung arti kebenaran yang datang dari Allah, sesuatu yang pasti seperti
datangnya hari akhir, dan lawan dari kebatilan. Alhaq dalam Alquran dikaitkan
dengan Alquran sebagai bentuk sumber dan Muhammad sebagai pembawa yang
menyampaikannya kepada manusia. Haq adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan
datang dari Tuhan melalui wahyu. Manusia diminta untuk menerima dengan tidak
ragu-ragu mengenai kebenaran nilai tersebut (Q.S. 2:147). Haq bersifat
normatif, global, dan abstrak sehingga memerlukan penjabaran sehingga dapat
dilaksanakan secara operasional oleh manusia.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir
masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama
belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek
kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual,
karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai
budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Pelaksanaan ajaran agama dipandang cukup dengan
melaksanakan ritual agama, sementara aspek ekonomi, sosial, dan budaya lainnya
terlepas dari nilai-nilai agama penganutnya atau dengan kata lain pelaksanaan
ritual agama (ibadah) oleh seseorang terlepas dari perilaku sosialnya. Padahal,
ibadah itu sendiri memiliki nilai sosial yang harus melekat pada orang yang
melaksanakannya, misalnya orang yang salat ditandai dengan perilaku menjauhkan
dosa dan kemunkaran, puasa mendorong orang untuk sabar, tidak emosional, tekun,
dan tahan uji.
Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang
ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai,
moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat
D.
Peradaban
Agama Islam dan Keragaman Kebudayaan secara Perspektif
Dalam hal ini Islam standpoint sebagai
agama sekaligus peradaban. Standpoint tersebut punya banyak argumentasi, banyak
penjelesan mengenai hal tersebut di dalam al – qur’an. Definisinya adalah bahwa
di dalam al - qur’an di tuliskan “beragama dan menciptakan
kebudayaan/peradaban. Yang menjadi persoalan ini apakah yang dibentuk islam
kebudayaan tunggal atau beragam. Terhadap persoalan tersebut banyak ahli agama
yang membahas hal ini, seperti Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa “keragaman
budaya dalam kesatuan spritual”(nasr, 1977),
Jawaban dimulai dengan perkembangan
islam klasik dengan fokus pada peradapan kebudayaan tunggal dan berkembang
menjadi kebudayaan yang beragam, lalu fakor-faktor pembentuk keragaman
keragaman kebudayaan, kawasan-kawasan kebudayaan, dan terkhir apresiasi islam
terhadap kebudayaan lokal.
1.
Perkembangan
Peradapan Islam Klasik dari Kebudayaan Tunggal menjadi Kebudayaan yang Beragam.
Analisis hodgson(1974), Islam telah
menampakkan eksistensinya pada periode keararifan tinggi, yaitu pada masa
kekuasaan bani marwan dan banni abbasiyah awal,
yaitu pada waktu itu muslim membangun negara atau khalifah dan
kebudayaan yang sangat luas wilayahnya dengan bahasa tunggal ilmu pengetahuan
dan kebudayaan yaitu bahasa arab, dan agama islam lah sebagai pembentuk utama
kebudayaana, dan banyak mengembangan tradisi tradisi baru.
Pada periode selanjutnya islam
pertengahan awal, peradapan islam pun tumbuh dan berkembang menjadi peradaban
internasional yang menyebar keluar batas wilayah, melalui lembaga sosial
otonom, seperti organisasi ulama,sufi, dan organisasi komersial, yang melampui
batas kekhalifahan dan mendorong terbangunan kecanggihan kultural atau
kebudayaan tinggi dari tradisi-tradisi yang telah dikembangkan dimasa
kekhalifahan tinggi. Dengan itu islam pun telah memasuki babak baru dengan peradaban dan keragaman budaya.
Menurut analisis al-jabiri (1991),
dinasti abbasiyah misalnyanya. Dengan disiplin yang tekun keilmuan islam dengan
merengkontruksi bahasa dan agama yang berasal dari jaman jahiliya dan masa
permulaan islam dengan pengguna logika dari aristoteles dan beberapa aspek
pemikiran yunani, mengembangkan kebudayaan dengan pemikiran yang baru dan
sendiri,yaitu epsitemologi bayani. Ada pula lagi dinasti fathimiyah juga
menggunakan metode penalaran yunani terutama aristoteles, mengembangkan
kebudayaan dengan corak epistemologi lain, yaitu epistemologi burhani, yang mencoba
membangun kembali tradisi bayani, dan memperbaiki kekurangannya dan membuang
paham paham lama dengan pemahaman yang baru.
Dari analisis-analisis diatas dapat di
definisikan beberapa hal pertama, terdapat dialektka antara agama dan warisan
kebudayaan pra-islam, telah memberikan warna baru pada pengembangan budaya
islam. Kedua, otoritas kekuasan telah berperan sebagai faktor pembentuk
keragaman kebudayaan.
2.
Faktor
- Faktor Pembentuk Keragaman Kebudayaan
Adapun faktor pertama dalam pembentukan keragaman
kebudayaan adalah otoritas dalam suatu persaingan dan perebutan dan dominasi
kebudayaan sebagai ekpresi politik. Faktor kedua adalah paham ke agamaan, paham
\-paham agama tersebut telah memain kan peranan sentral dalam memberikan rasa
spritual, dan rasa kebudayaan di kawasan-kawasan tersebut. Faktor ketiga adalah
ciri-ciri etnis dan rasial pemeluk islam. Faktor keempat adalah sejarah,
kesamaan sejarah dan jenis kesadaran berpengaruh kuat dalam membentuk identitas
kebudayaan menetapkan pola kebudayaan regional/lokal. Faktor kelima adalah
ciri-ciri demografis dan geografis. Faktor- faktor tersebut kombinasi antar
faktor biasanya bertanggung jawab atas
penciptaan keragaman kebudayaan dalam peradaban islam.
3.
Keragaman
Kebudayaan Islam
Jadi secara garis besar kebudayaan islam
dapat di petakan dalam lima kawasan :
arab, iran ,turki, melayu dan afrika hitam.
1. Kawansan
Arab
Kawasan arab kebudayaan islam adalah
kawansan kebudayaan yang mendominan dengan bahasa arab sebagai salah satu
bahasa kebudayaannya.
2. Kawasan
Iran
Kawasan Iran kebudayaan islam dicirikan
dengan bahasa indo irannya yang sangat mendominan,ciri etnik, dan bnyak nya
mendominasi agama islam persia dan bahasa persia.
3. Kawasan
Turki
Kawasan ini adalah kawasan yang dekat
dengan kebudayaan islam persia.
4. Kawasan
Melayu
Kawansan melayu dari thailand hingga
indonesia sampai dengan filiphina
merupakan kebudayaan islam yang paling luas. Walaupun di negara tersebut
ada berbagai macam agama, tetapi tetap saja agama islam mendominan.
5. Kawasan
Afrika Hitam
Kawansan ini merupakan kawasan yang
sudah memiliki kontak dengan islam atau hubungan dengan islam yang lumayan
cukup lama sejak masa nabi(melalui migrasi sebagian kecil orang islam ke
othopia)
E. FUNGSI DAN TUJUAN AGAMA TERHADAP
PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN BUDAYA
Dalam konteks sosial, hubungan fungsional
antara agama dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang rasional dan
humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, dapat disebut sebagai suatu
historical force yang turut menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator
pencegah terjadinya disintegrasi dalam masyarakat. Dan lebih dari itu, dengan
kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang
memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial,
mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan. Sosiolog Peter L
Berger (1991) mengemukakan hal yang sama, bahwa agama merupakan sistem simbolik
yang memberikan makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan
secara meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial
dan penderitaan atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu bersifat kontekstual, yakni memahami
fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini
agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik
manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau
aturan tingkah laku para pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu
adalah nilai-nilai transenden. Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger
dikatakan dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan bagi agama
untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi pola tingkah laku dan corak
sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif bagi
masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga
mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga mengakui agama menjadi penggerak
dan pemersatu masyarakat secara efektif. Karena, agama lebih dari ideologi
sekuler mana pun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung
otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan
sasaran-sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial
agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial
(tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif
antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam
realitas masyarakat yang pluralistik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam masuk ke Indonesia dengan penuh
kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun.
Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada
masyarakat di negri ini. Para wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui
pendekatan budaya.
Dalam benak sebagian besar orang, agama
adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya
memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk
senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama
maupun budaya difahami (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni
untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan
berperikemanusiaan.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir
masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama
belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan
yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu
nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak
mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan
sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna
kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat Indonesia
yang sedang dalam masa pancaroba ini. Aktualisasi nilai dilakukan dengan
mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan
perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan social.
B. SARAN
Islam adalah agama berbudaya, agama
peradaban. Yang harus dilakukan umat Islam Indonesia supaya menjadi Islam yang
kontributif, Islam garda depan, dan menjadi penyumbang terbesar dalam
mewujudkan Islam keindonesiaan adalah dengan terus memperbaiki diri.
Mimpi tentang Islam yang membumi adalah sebuah wacana yang sangat indah. Umat
Islam Indonesia harus mencari formula yang benar dan tepat untuk mewujudkan
mimpi itu menjadi kenyataan.nilai-nilai Islam harus menjadi sumber yang
mengilhami cita-cita Negara (wellspring for state direction), menjadi
nilai-nilai yang berlaku umum (civic values) dan menjadi moralitas
public (public morality). Umat Islam Indonesia harus menjadi pelopor
penegakan Bhineka Tunggal Ika. Islam bukanlah agama yang kaku, karena
tawar-menawar yang tidak mengotori aqidah selalu terbuka, termasuk tawar
menawar dengan budaya setempat.
DAFTAR PUSTAKA
- http://www.awankpoenya.co.cc/2008/11/era-informasi-dan-globalisasi-sebagai_13.html
- http://pustaka.bkkbn.go.id/index.php?o;ption=com_content&task=view&id=109&Itemid=93
- AGAMA
DAN PLURALITAS
: Edisi revesi di terbitkan oleh penebit pusat studi
budaya dan perubahan sosialUniversitas muhammadiyah negri surakarta.
TANGGAL REFRENSI 30 – 3 – 2014 SENIN
NAMA : DENDRY RENOVALDIO
NPM : 12113164
KELAS : 1KA07